Rabu, 13 Februari 2013
Suku Dayak Meratus dan Kearifannya
Latar belakang
Meratus merupakan kawasan pegunungan yang membelah Provinsi
Kalimantan Selatan. Membentang sepanjang kurang lebih 600 kilometer persegi
dari arah Tenggara dan membelok ke Utara, hingga perbatasan Kalimantan Timur.
Meratus menjadi bagian dari sembilan kabupaten di Kalsel,
yakni Kabupaten Kota Baru, Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai
Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, dan Balangan.
Meratus memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dengan
beberapa vegetasi dominan, seperti Meranti Putih, Meranti Merah, Agathis,
Kanari, Nyatoh, Medang, Durian, Gerunggang, Kempas, dan Belatung.
Kawasan hutan Meratus yang menjadi hulu sebagian besar
daerah aliran sungai (DAS), menjadikan kawasan ini sangat penting bagi Kalsel
sebagai wilayah resapan air. Selain itu, juga menggambarkan tipe ekosistem
hutan pegunungan yang lengkap.
Sepanjang kawasan Meratus, berdiam kelompok masyarakat adat
Dayak yang dikenal dengan sebutan Dayak Meratus atau suku Bukit. Sejak
beratus-ratus tahun lampau, etnis inilah yang melakukan pengelolaan terhadap
kawasan Meratus.
Asal usul
Suku Dayak Bukit (Buguet[1][2]atau
Suku Dayak Meratus atau Dayak Banjar yaitu kumpulan sub-suku
Dayak yang mendiami sepanjang kawasan pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan. Selato menduga,
suku Bukit termasuk golongan Suku
Punan.[3].
Tetapi Tjilik Riwut membaginya ke
dalam kelompok-kelompok kecil seperti Dayak Alai (Labuhan), Dayak Amandit
(Loksado), Dayak Tapin (Harakit), Dayak Kayu
Tangi, dan sebagainya, selanjutnya ia menggolongkannya ke dalam Rumpun
Ngaju. Namun penelitian terakhir dari segi bahasa yang digunakan
sub suku Dayak ini tergolong berbahasa
Melayik (bahasa Melayu Lokal). Orang Banjar Hulu sering
menamakannya Urang Bukit, sedangkan orang Banjar Kuala sering
menamakannya Urang Biaju.
Sesuai habitat kediamannya tersebut maka belakangan ini mereka lebih senang disebut Suku Dayak Meratus, daripada nama sebelumnya Dayak Bukit yang sudah terlanjur dimaknai sebagai orang gunung. Padahal menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah tersebut istilah bukit berarti bagian bawah dari suatu pohon yang juga bermakna orang atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal masyarakat lainnya.
Suku Bukit juga dinamakan Ukit, Buket, Bukat atau Bukut. Suku Bukit atau suku Dayak Bukit terdapat di beberapa kecamatan yang terletak di pegunungan Meratus pada kabupaten Banjar, kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, kabupaten Tapin, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru.
Sesuai habitat kediamannya tersebut maka belakangan ini mereka lebih senang disebut Suku Dayak Meratus, daripada nama sebelumnya Dayak Bukit yang sudah terlanjur dimaknai sebagai orang gunung. Padahal menurut Hairus Salim dari kosa kata lokal di daerah tersebut istilah bukit berarti bagian bawah dari suatu pohon yang juga bermakna orang atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan cikal bakal masyarakat lainnya.
Suku Bukit juga dinamakan Ukit, Buket, Bukat atau Bukut. Suku Bukit atau suku Dayak Bukit terdapat di beberapa kecamatan yang terletak di pegunungan Meratus pada kabupaten Banjar, kabupaten Balangan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, kabupaten Tapin, Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru.
Jadi Suku Dayak Meratus, adalah suatu
komunitas adat yang ada di pegunungan Meratus, sebelumnya lebih di kenal dengan
sebutan sebagai Dayak Bukit. Dayak Meratus adalah salah satu dari sekian banyak
sub suku Dayak, yang bertempat tinggal di sekitar pegunungan Meratus.
Beberapa sub etnis suku Dayak Meratus yaitu :[4]
Beberapa sub etnis suku Dayak Meratus yaitu :[4]
- Dayak Pitap, di desa Dayak Pitap dan sekitarnya.
- Dayak Alai terdiri atas Dayak Labuhan, Dayak Atiran dan Dayak Kiyu[5][6]
- Dayak Hantakan (Dayak Bukit), di desa Haruyan Dayak.[7]
- Dayak Labuan Amas
- Dayak Loksado (Dayak Amandit), di kecamatan Loksado.
- Dayak Harakit (Dayak Tapin), di desa Harakit dan sekitarnya.
- Dayak Paramasan, di kecamatan Paramasan.[8][9]
- Dayak Kayu Tangi (mendiami kawasan Riam Kanan sebelum dijadikan waduk)
- Dayak Bangkalaan, di desa Bangkalan Dayak.[10][11]
- Dayak Sampanahan, di kecamatan Sampanahan, Kotabaru.
- Dayak Riam Adungan, di desa Riam Adungan.
- Dayak Bajuin, di desa Bajuin.
- dan lain-lain
Populasi Suku
Bangsa Dayak Bukit
Populasi suku Dayak Bukit di Propinsi Kalimantan
Selatan : 35.838 (BPS - sensus th. 2000)
Berdasarkan sensus penduduk
tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), populasi suku Dayak Bukit di
Kalimantan Selatan berjumlah 35.838 jiwa, yang terdistribusi pada beberapa kabupaten
dan kota,
yaitu :
- 585 jiwa di kabupaten Tanah Laut
- 14.508 jiwa di kabupaten Kota Baru (termasuk Tanah Bumbu)
- 1.737 jiwa di kabupaten Banjar
- 836 jiwa di kabupaten Barito Kuala
- 112 jiwa di kabupaten Tapin
- 3.778 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Selatan
- 3.368 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Tengah
- 244 jiwa di kabupaten Hulu Sungai Utara (beserta Balangan sebelum pemekaran daerah)
- 1.106 jiwa di kabupaten Tabalong
- 7.836 jiwa di kota Banjarmasin
- 1.728 jiwa di kota Banjarbaru
BAHASA
Bahasa Bukit/Meratus atau Bahasa
melayu Dayak Bukit atau Bahasa melayu Dayak Meratus (bvu) adalah
suatu bahasa Austronesia yang
dituturkan suku Dayak Bukit di sepanjang pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Bahasa Bukit dapat pula disebut
Bahasa Melayu Bukit. Bahasa Bukit merupakan bentuk arkhais dari bahasa
Banjar sebelum bahasa Banjar terpengaruh bahasa Jawa.[1] Misalnya
bahasa bukit mempertahankan kosa kata ayying (artinya air) seperti
bahasa serumpunnya bahasa Brunei, sedangkan dalam bahasa Banjar
kosa kata tersebut telah punah digantikan dengan kata pinjaman banyu
yang berasal dari bahasa Jawa selain itu budaya Banjar juga telah mendapat
pengaruh budaya Jawa.
Budaya Bukit
Suku ini dapat digolongkan sebagai suku Dayak, karena mereka
teguh memegang kepercayaan atau religi suku mereka. Akan tetapi religi suku
ini, agak berbeda dengan suku Dayak di Kalimantan
Tengah (Suku Dayak Ngaju), yang banyak menekankan ritual
upacara kematian. Suku Dayak Bukit lebih menekankan upacara
dalam kehidupan,
seperti upacara pada proses penanaman padi atau panen, sebagaimana halnya
dengan suku Kanayatn di Kalimantan Barat. Kepercayaan Orang Meratus dapat
dikatakan sebagai kepercayaan masyarakat “Huma” terkait dengan penghormatan
terhadap “Padi” secara sakral yang terwujud dalam upacara-upacara ritual.
BEBERAPA KEARIFAN DI SUKU DAYAK MERATUS
Kearifan pembagian wilayah hutan
Kedekatan masyarakat adat Dayak Meratus dengan alam membuat
mereka sangat mengenal lingkungannya. Dalam hal pengelolaan lahan, tanah dan
hutan dikelompokkan dalam beberapa bentuk berdasarkan kesepakatan bersama yang
berlaku di tiap-tiap Balai meski kadang dengan istilah yang berbeda.
Masih berdasarkan penelitian yang dilakukan LPMA Borneo
Selatan, masyarakat adat Dayak Meratus memberlakukan wilayah katuan larangan
(hutan larangan). Dalam wilayah itu, segala aktivitas pemanfaatan lahan,
seperti bahuma atau manugal (bertani atau berladang) tidak
diperbolehkan.
Katuan larangan diperuntukkan dan
diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur. Pohon di wilayah itu tidak
boleh ditebang. Pemanfaatan hutan hanya sebatas hasil hutan nonkayu. , tujuan
dari semua itu agar bisa berfungsi sebagai daerah perlindungan bagi habitatnya
dan penyedia sumber air.
Sebagai etnis yang menjunjung tinggi harga diri dan
nilai-nilai kearifan lokal, Dayak Meratus lebih mengedepankan hal-hal budaya
dengan nilai-nilai rohaniah. Karena itulah, mereka memberlakukan wilayah katuan
karamat (hutan keramat) di wilayah Balai masing-masing.
Wilayah
itu diperuntukkan khusus untuk kawasan pemakaman dan sama sekali tidak boleh
dimanfaatkan selain untuk pemakaman para leluhur. Wilayah itu biasanya terletak
di perbukitan atau disebut munjal. Masyarakat adat Meratus selain bahuma, juga berkebun. Karena itulah, diberlakukan wilayah khusus untuk bakabun gatah (berkebun karet).
Wilayah ini berbeda dengan pahumaan. Di wilayah ini khusus ditanami pohon gatah atau para (karet) untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi, sedangkan pahumaan adalah kawasan yang ditanami tanaman jangka pendek, seperti padi dan palawija. Sementara untuk kawasan pemukiman atau Balai, masyarakat adat Meratus hanya mengambil sebagian kecil dengan luasan kurang dari 2 hektar. Kawasan pemukiman biasanya terletak di daerah datar (lembah) atau taniti (perbukitan kecil) yang relatif landai dan dekat sungai. Dipercaya pula jika ketentuan adat yang berlaku tersebut di langgar, yang bersangkutan akan katulahan (kualat) yang berujung pada terjadinya kesialan, petaka, dan karma.
Kearifan pemanfaatan lahan
Pahumaan atau ladang bagi masyarakat adat
Dayak Meratus adalah sumber pangan yang sangat penting. Penentuan wilayah pahumaan
terkadang melalui proses yang lama.
Banyak hal yang harus diperhitungkan. Seperti kemiringan dan
ciri-ciri tumbuhan yang ada untuk mengukur tingkat kesuburan tanah.
"Lokasi yang baik biasanya berada di daerah dengan
ketinggian hingga 700 meter dari permukaan laut, di bawah wilayah katuan
larangan dan katuan karamat. Dengan begitu, para leluhur mudah untuk
mengawasi dan menjaga wilayah.
Aktivitas manugal (menanam padi) tidak boleh
dipandang remeh. Padi bagi masyarakat adat Dayak Meratus adalah suci sehingga
prosesinya pun harus dilakukan dengan kesungguhan dan penghayatan serta melalui
serangkaian ritual adat yang disebut Aruh (upacara).
Bahkan, alat pertanian yang akan digunakan untuk bahuma
tak luput dari ritual adat. Sebelum membuka ladang dilakukan pemujaan terhadap
alat pertanian yang disebut mamuja tampa agar pengerjaannya nanti
lancar.
Ada banyak rangkaian ritual adat yang dilakukan saat memulai
aktivitas pembukaan lahan hingga panen. Semua ritual itu dilakukan oleh
masing-masing Balai dengan istilah yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang
sama.
Puncak dari segala ritual dalam bahuma adalah Aruh
Ganal (upacara besar) atau disebut juga Aruh Bawanang atau Aruh
Balangatan, saat perayaan panen raya.
upacara Aruh ganal ini
dirayakan secara besar-besaran selama lima, tujuh, dan atau 12 hari oleh
seluRohwarga kampung; dengan mengundang warga dari kampung-kampung lainnya.
Aruh Ganal disebut juga bawanang banih halin atau upacara
mahanyari banih barat, yaitu upacara yang dilaksanakan karena mendapat hasil
panen padi yang banyak dan selama bahuma tidak mendapat musibah. Padi yang
diikutkan dalam upacara ini adalah padi yang terakhir kali dipanen atau disebut
juga hasil panen yang kedua. Beras dari hasil panen tersebut belum boleh
dimakan sebelum diupacarai. Dengan kata lain, masyarakat Dayak baru akan
menikmati hasil dari bahuma setelah mereka mengucapkan syukur kepada Sang Maha
Pemberi Rizqi.
Oleh karena Aruh Ganal merupakan upacara sakral dan
bernuansa magis, maka pelaksanaan upacara Aruh Ganal dipimpin oleh Balian.
Balian adalah tokoh (pimpinan) adat yang mempunyai pengetahuan luas mengenai
seluk beluk adat dan tradisi masyarakat Dayak
Harmonisasi tingkat tinggi
Hutan bagi masyarakat adat Dayak Meratus menjadi landasan
ideologi, sosial, selain sebagai penunjang keberlangsungan hidup dan
perekonomian. Sangat diyakini, Tuhan akan menurunkan bala apabila dilakukan
perusakan. Karena itulah, terjadi harmonisasi tingkat tinggi antara mereka dan
hutan, dengan saling melindungi,"
Kesimpulan
masyarakat adat Dayak Meratus meyakini kearifan lokal
mereka sebagai bentuk komunikasi kepada sesama manusia, alam, dan Tuhan.
"Patut dipuji kemampuan mereka dalam pengelolaan sumber
daya alam yang berorientasi pada masa depan dengan memerhatikan keberlangsungan
hidup anak cucu kelak," ujarnya.
Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang dilakukan
oleh manusia sekarang ini, di mana pemanfaatan sumber daya alam lebih banyak
berorientasi pada kekinian dan hanya untuk saat ini. Tak peduli apa yang akan
ditinggalkan untuk anak cucu kelak.
Pola pikir yang sederhana melalui kearifan lokal yang dianut
masyarakat adat Dayak Meratus, ternyata memberikan efek luar biasa.
Kesederhanaan dari kearifan lokal itulah yang kini terbukti mampu menyelamatkan
dan menjaga keberlangsungan kehidupan manusia sekarang.
"Nilai-nilai kekeramatan yang terkandung dalam kearifan
lokal mereka terbukti memberikan dampak bagus pada lingkungan. Pengelolaan
dilakukan secara bersama-sama untuk pemenuhan kebutuhan bersama sehingga
menciptakan keteraturan sosial